Sengketa Konsumen, ke Mana Mesti Mengadu?
Oleh : L Malik Kurniawan, Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Sangkareang Mataram
SENGKETA Konsumen adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 23 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen; yaitu bahwa Pelaku Usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memberikan ganti rugi atas tuntutan Konsumen, akan menimbulkan Sengketa Konsumen dan dapat digugat.
Dalam banyak kasus, konsumen lebih banyak diam dan tidak menuntut kesalahan pelaku usaha yang telah menimbulkan kerugian padanya, serta menganggapnya sebagai pengalaman buruk. Dasar pertimbangannya adalah cost and benefit; dimana konsumen merasa akan jauh lebih banyak mengalami kerugian apabila melakukan gugatan ganti rugi.
Dalam kasus yang lain, konsumen dalam keadaan “marah” dan frustrasi, tetapi tidak tahu dengan pasti apa yang akan dan harus dilakukannya. Akhirnya, konsumen melakukan segala kemungkinan dalam mengekspresikan kemarahannya yang kadang terlihat nekad dan cenderung merupakan langkah yang kurang tepat.
Adapun langkah elegan yang sedikit dilakukan oleh konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha antara lain dengan mengungkapkan kasus yang dihadapinya pada kolom surat pembaca di surat kabar, mengemukakan kasus yang dialami dalam ruang-ruang tertentu di media massa dan media sosial.
Upaya Perlindungan Konsumen
Tujuan perlindungan konsumen secara global di seluruh dunia hampir sama. Senada dengan resolusi PBB No. 39/248 tentang Guidelines for Customer Protection; dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan tentang tujuan yang hendak dicapai dalam upaya perlindungan konsumen, yaitu agar konsumen terhindar dari hal-hal yang dapat menimbulkan merugikan dalam menggunakan barang dan/atau pemanfaatan jasa.
Selain persamaan mendasar tersebut; bagi negara maju, negara sedang berkembang dan negara miskin; perbedaan tujuan perlindungan konsumen terletak pada dua hal, yakni tingkat perlindungan (level of protection) dan standar kerusakan barang dan/atau jasa (standard of damaged goods and services).
Perbedaan dalam hal tingkat perlindungan terhadap konsuemen ini biasanya tergantung pada cara pandang tentang urgensinya bagi masing-masing Negara. Semakin maju suatu Negara, maka semakin tinggi penghargaan terhadap perlindungan konsumennya dan sebaliknya. Adapun dalam standar kerusakan barang dan/atau jasa, semakin maju suatu negara maka akan semakin ketat produksi dan peredaran barang dan/atau jasanya, dan sebaliknya.
Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana disinggung di atas hanya dapat dicapai dengan berbagai upaya perlindungan konsumen. Upaya ini terbagi menjadi 2(dua) bagian yakni: perlindungan secara hukum dan perlindungan secara non hukum. Perlindungan secara hukum selanjutnya terbagi menjadi 3(tiga) bagian, yaitu:
Peraturan perundang-undangan (legislation), Peradilan (litigation) dan di luar peradilan (non litigation), dan Pengaturan mandiri (voluntary self regulation). Adapun perlindungan secara non hukum terdiri atas upaya non aksi (do nothing) dan ragam aksi (miscellaneous).
Jika dijabarkan secara garis besar, maka Perlindungan Konsumen secara hukum ini antara lain terdiri atas 1) Legislasi; konsumen yang dirugikan dapat memperoleh perlindungan hukum dari peraturan perundangan yang mengatur hak dan kewajiban dalam berbagai bidang, misalnya tentang keamanan produk, obat dan makanan, perkreditan, peumahan dan lain lain. 2) Litigasi; merupakan upaya penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan, dari tingkat pertama sampai tingkat akhir di Mahkamah Agung.
Sedangkan upaya non litigasi merupakan upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. 3) Pengaturan Mandiri; adalah upaya perlindungan konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha di dalam lembagnya, dengan jalan melakukan sendiri berbagai aturan dan ketentuan yang berutujuan untuk melindungi konsumen dari mengkonsumsi barang dan/atau penggunaan jasanya.
Penyelesaian Sengketa Konsumen
Sebagaimana telah disinggung di atas, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui beberapa cara. Salah satu cara yang umum dilakukan adalah dengan menempuh jalur peradilan (litigasi). Sebagaimana penyelesaian sengketa secara umum, maka jalur ini memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang relative lebih banyak.
Sebagai alternative pilihan penyelesaian sengekta konsumen, maka sejak tahun 2000 secara formal pemerintah melalui Undang-undang Pelindungan Konsumen (UUPK) telah menyediakan jalur penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan (non litigasi).
Penyelesaian sengketa di luar peradilan (non litigasi) ini dapat membantu konsumen dalam menyelesaikan tuntutan kerugiannya dengan biaya yang sangat minim dengan waktu yang dapat diperhitungkan. Ada beberapa lembaga atau badan yang biasanya mampu menyelesaikan sengketa konsumen dengan jalur ini, yaitu
1) Pemerintah; melalui dinas atau bidang-bidang yang khusus menangani penyelesaian sengekta konsumen, seperti Kementerian Perdagngan RI, Dinas Perdagangan Provinsi, Otoritas Jasa Keuangan dan lainnya.
2) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM); merupakan lembaga bentukan masyarakat (swadaya) yang khusus menangani perlindungan konsumen yang keberadaannya diakui oleh pemerintah melalui Surat Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (TDLPKSM).
3) Badan Pelindungan Konsumen Nasional (BPKN); merupakan lembaga bentukan pemerintah yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, unsur masyarakat (LPKSM), unsur pelaku usaha, unsur akademisi dan unsur professional/ahli dan berdomisili di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
4) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); merupakan lembaga bentukan pemerintah yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, unsur masyarakat, dan unsur pelaku usaha dan berdomisili di tiap-tiap kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia.
Menurut data dari Dinas Perdagangan NTB, tercatat ada beberapa lembaga yang memiliki concern dan kompetensi dalam menangani perlindungan konsumen; yaitu:
1) Dinas Perdagangan NTB cq. Bidang Standardisasi dan Perlindungan Konsumen,
2) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM); yang terdiri dari YPK Nusa Tenggara Barat, LPKSM Lombok Barat, LPKSM Sangkareang Mataram, LPK Madani Lombok Timur dan LPKSM Mataram,
3) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); yang terdiri BPSK Kota Mataram, BPSK Kabupaten Sumbawa dan BPSK Kabupaten Lombok Utara (meskipun sudah terbentuk dan sempat berjalan satu periode, namun saat ini belum ada catatan pengurusnya).
Keberadaan lembaga-lembaga perlindungan konsumen tersebut sejauh ini dirasakan telah memberi manfaat yang sangat besar kepada masyarakat/konsumen di Provinsi NTB. Meskipun secara ideal, baik LPKSM maupun BPSK seharusnya ada dan terbentuk di setiap kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan dalam UUPK.
Selain bertugas mengedukasi masyarakat tentang hak-hak konsumen, kedua lembaga tersebut (LPKSM dan BPSK) juga seringkali menangani pengaduan dan membantu menyelesaikan sengketa konsumen. Beberapa kasus sengketa yang biasa ditangani antara lain: Leasing, Perbankan, Perumahan, Penerbangan, Air Bersih, PLN, Barang Elektronik dan sebagainya.
Akhirnya, dalam menyelesaikan sengketa konsumen; masyarakat dapat memilih: tetap diam dengan menganggapnya sebagai bad luck (do nothing) atau berupaya menyelesaikannya melalui institusi atau lembaga-lembaga yang telah disebutkan di atas.